Tujuh Likuran

Setiap memasuki bulan Ramadhan, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Melayu dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci Ramadhan sebagai tanda syukur dan bergembira atas datangnya bulan penuh berkah. Tradisi tersebut telah dilakukan secara turun-temurun sejak masa lalu. Salah satunya yang masih ada namun sudah mulai redup adalah tradisi likuran atau 7 likur. Tradisi 7 likur merupakan tradisi menyalakan lampu/penerangan tradisional yang ditempatkan di sekitar masjid, di berbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk. Pada malam puncak perayaan malam 7 likur yaitu tepatnya pada malam 27 Ramadhan berbagai kegiatan dilakukan oleh masyarakat diantaranya saling mengunjungi ke rumah-rumah keluarga atau tetangga dan menyajikan makanan/kue tradisional dan diakhiri dengan saling mendoakan agar keluarga yang dikunjungi memperoleh limpahan rahmat, pahala dan rezeki. Tradisi 7 Likur bukan sebatas symbol budaya bagi masyarakat Melayu, tetapi lebih luas yaitu dalam rangka menyambut datangnya malam seribu bulan yaitu malam Lailatul Qadar. Dimana pada masa ini setiap individu akan lebih meningkatkan amal dan ibadahnya.

Jika kita melirik salah satu daerah di Kepulauan Riau, seperti di Kabupaten Lingga. Tradisi malam 7 likur masih dapat kita rasakan nuansa Islami dan budaya Melayu yang mengikat kehidupan masyarakatnya. Tradisi 7 likur bagi masyarakat Lingga dilaksanakan setiap memasuki bulan suci Ramadhan dan puncak kegiatannya dilaksanakan pada saat malam 27 Ramadhan. Berbagai kegiatan dilakukan, salah satunya adalah dengan memeriahkan suasana di malam hari dengan menyalakan berbagai penerangan tradisional seperti lampu cangkok/colok/teplok/pelita di sekitar rumah, jalan dan lorong – lorong, serta banyak juga membangun gerbang berlampu bernuansa Islami seperti membuat kaligrafi dan kubah masjid.

Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat, segala perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tradisi ini diupayakan secara suka rela oleh masyarakat. Namun, belakangan setelah terbentuknya Kabupaten Lingga, pemerintah daerah turut serta mendukung pelaksanaan tradisi ini dengan memberikan berbagai dukungan guna memperlancar pelaksanaan tradisi 7 likur ini. Dukungan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan kegiatan tradisi ini cukup memberikan semangat bagi warga masyarakat yang akan melaksanakan tradisi ini, dari mulai dukungan dana terhadap masyarakat yang akan membuat gerbang atau gapura serta pemberian hadiah terhadap gerbang atau gapura yang terlihat indah dan menarik.

Tradisi 7 Likur tidak hanya terdapat di Kabupaten Lingga saja melainkan terdapat juga di daerah lainnya di Kepulauan Riau sejak masa lalu. Namun, istilah atau penamaan tradisi 7 likur terkadang disebutkan dengan nama yang berbeda di tempat lain tetapi makna dan hakikatnya adalah sama. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bintan. Pemerintah Kabupaten Bintan mencoba menghidupkan kembali Tradisi Lampu Cangkok yang saat ini sudah mulai redup. Hal itu, bukan saja bermaksud menghidupkan tradisi budaya yang sudah mulai punah tetapi membangkitkan kembali tradisi yang dianggap memiliki berbagai hal positif yang bermanfaat khususnya dalam memberikan semangat kepada generasi muda untuk dapat memahami akar budaya dalam masyarakat Melayu.

Kemeriahan tradisi Lampu Cangkok di Kabupaten Bintan tentu tidak sama dengan daerah Lingga, masing-masing memiliki keunikan tersendiri yang harus dipertahankan dan dikelola dengan baik guna melestarikan tradisi tersebut. Istilah lampu cangkok sebenarnya adalah nama yang diberikan pada lampu atau istilah lainnya adalah pelita. Bentuk fisik lampu cangkok adalah lampu yang dibuat secara tradisional dari berbagai bahan seperti kaleng atau botol, bambu, sumbu, dan bahan bakar minyak tanah.

Lampu cangkok yang telah dibuat ditempatkan di sepanjang jalan desa hingga di depan masjid tujuannya adalah untuk memberi penerangan bagi siapa saja yang ingin beribadah hingga larut malam pada bulan suci Ramadhan. Di rumah-rumah penduduk lampu cangkok akan ditempatkan di pekarangan rumah dan depan rumah dengan berbagai variasinya. Biasanya bagi keluarga yang mampu akan membuat lampu cangkok dengan berbagai variasi menghiasi rumahnya, misalnya dengan motif bintang, bulan, dan sebagainya. Pembuatan motif tersebut biasanya dibuat dari bahan kain, bambu, dan benang yang dibuat sedemikian rupa hingga terlihat menarik.

Tradisi Lampu Cangkok juga tidak terbatas pada istilah untuk penyebutan lampu atau penerangan di malam hari. Tetapi memberikan magnet bagi masyarakat Melayu dalam menyambut datangnya malam Lailatul Qadar dan meningkatkan ibadah di malam hari. Bagi anak-anak tentu saja malam tradisi lampu Cangkok akan memberikan makna yang dalam bagi mereka dalam menanamkan nuansa Islami sejak dari kecil dan hal itu biasanya lebih melekat dan selalu menjadi ingatan bagi mereka setelah dewasa dalam menjalani masa kehidupannya. Hal itu tentu tidak akan didapatkan di daerah perkotaan, atau daerah yang sudah melupakan adat dan tradisi budaya yang dimilikinya.

Haul Jamak

Tradisi doa arwah ataupun haul jamak masih menjadi ritual yang tak pernah ditinggalkan orang Melayu Lingga. Tepat sebulan sebelum masuknya bulan Ramadhan, yakni di bulan Syaban hitungan Hijriah atau bulan Islam selama satu bulan penuh pembacaan Doa Arwah berlangsung bergantian dimasing-masing masjid ataupun surau. Jamah masjid surau kunjung-mengunjungi dari satu dusun, kampung hingga desa-desa duduk bersama membacakan Doa Arwah untuk saudara kerabat maupun orang-orang tua yang telah meninggal di masjid maupun surau.

Haul jamak adelah kegiatan kenduri sebulan penuh secara bergiliran dalam rangka menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan. Kenduri perdana biasanya diadakan di Masjid Sultan Lingga Riau pada setiap tanggal 1 Syakban.

Ritual pembacaan Doa Arwah atau Haul Jamak dimulai sejak masuknya bulan Syaban. Tradisi ini telah berlangsung turun turun temurun. Syaban ini juga disebut sebagai bulannya Rasulullah, Nabi Muhammad SAW. Dalam tradisi ini dibacakan Doa Arwah, untuk sanak keluarga, kerabat, orang tua maupun guru yang sudah meninggal. Selain memanjatkan Doa bagi keluarga dan krabat yang telah dulu meninggal, ada nilai kemanusiaan yang perlu dan terus dipertahankan, yaitu silaturahmi antar warga.

Masjid atau Surau menjadi tempat berkumpul melaksanakan Doa Arwah. Jemputan jamaah-jamaah masjid disebar jauh-jauh hari. Pengurus masjid dan surau menyusun jadwal agar tidak berbenturan pelaksanaan satu sama lain. Maksudnya agar tetap bisa kunjung-mengunjungi.

Pelaksanaannya pun dipimpin oleh seorang imam. Duduk berkumpul dalam masjid ataupun surau, membacaakan surat Al- Fatihah dari Al-Quran, disambung dengan Shalawat, Tahlil, Tahmid, Takbir dan Doa bersama lebih kurang 1 jam. Biasanya dilaksanakan usai shalat Dzuhur. Jamaah duduk bersila melantunkan kalimat-kalimat tauhid, dalam satu ruang yang dominan dilaksanakan oleh kaum laki-laki.

Selain membaca doa bersama, yang lebih menarik dalam Doa Arwah adalah juadah atau hidangan yang telah disediakan oleh masyarakat secara sukarela. Usai doa dipanjatkan, hidangan menjadi jamuan bagi siapa saja yang datang. Seperti acara syukuran, saling berbagi dan melengkapi antara yang satu dengan yang lain.

Hidangan melayu cukup khas. Tidak ada yang tinggi dan rendah. Siapapun dia, apapun kedudukannya semua sama rata dan sama rasa. Duduk bersila dengan juadah yang tersedia. Biasanya satu rumah menyediakan satu hidangan untuk diantar ke masjid dan surau dilingkungan masing-masing. Lengkap dengan nasi, ayam masak lemak, ikan gulai pedas, sayur, air putih dan manis serta buah-buahan pencuci mulut. Hidangan, adalah ungkapan terimakasih kepada tetamu yang sudah datang dari jauh dan ikut serta memberi doa.

Meskipun tidak ditetapkan, ataupun tidak diwajibkan, uniknya rasa berbagi inipun masih melekat dalam pribadi orang-orang melayu di Daik. Wilayah ini milik kaum perempuan, memasak hidangan di masing-masing rumah kemudian mengantar ke surau lengkap dengan talam sebagai penampang ditutup tudung saji yang berbentuk kerucut.

Dalam tradisi orang Melayu, makan bersama layaknya sunnah Nabi Muhammad SAW. Satu hidangan di dalam talam untuk 5 orang jamaah. Lauk pauk dan sayur terpisah oleh piring-piring, maksudnya agar lebih bersih. Sedangkan nasi, diisi ke piring masing-masing. Mereka akan duduk bersila, menyantap makanan yang telah tersedia yang membuat hubungan kedekatan dan rasa kebersamaan yang semakin terjalin baik.

Selain memanjatkan Doa Arwah di masjid dan surau, biasanya juga dilakukan pembersihan makam sanak keluarga. Biasanya ada juga yang membaca yasin, mapun doa arwah di makam. Tujuannya tidak lain, menghadiahkan doa bagi si mati.

Beganjal

Masyarakat Indonesia memiliki tradisi gotong royong yang melambangkan semangat kebersamaan. Orang Melayu mengenal tradisi beganjal. Ini tradisi gotong royong menjelang pelaksanaan hajatan, seperti pesta perkawinan.

Di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, tradisi ini masih lestari. Dalam beganjal, masyarakat kompak bersama-sama mempersiapkan keperluan sebelum pesta perkawinan. Sebagai contoh membuat bangsal atau pondok tempat memasak, mencari kayu api, mempersiapkan alat pecah belah. Selain itu, juga menyiapkan bumbu masakan, termasuk menyiapkan daging untuk dimasak, termasuk memasak nasi dan lauk.

Dalam beganjal, masyarakat yang datang membantu tidak mendapat upah. Pemilik hajatan hanya menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka yang bekerja. Dalam beganjal, laki laki dan perempuan boleh ikut serta.

Semakin ramai masyarakat yang datang membantu, pemilik hajatan makin senang. Ini pertanda pemilik hajatan pergaulannya bagus. Banyak warga ramai datang membantu. Sebaliknya, kalau warga enggan datang, berarti pemilik hajatan selama ini tidak pandai bergaul. Bisa saja selama ia juga jarang ke tempat hajatan orang lain.

Nilai yang bisa diambil dalam tradisi beganjal adalah nilai gotong royong atau kebersamaan. Tidak semua hal bisa diukur dengan uang.

Joget Lambak


Kesenian Tari Joget Lambak/Tandak Lingga berasal dari Daik-Lingga. Yaitu kesenian joget yang diiringi dengan musik gendang dan jika penarinya adalah wanita biasa disebut juga dengan tandak, namun bila penarinya adalah laki-laki biasanya disebut pandak. Perpaduan keduanya diistilahkan dengan ngebeng (terdiri dari penari wanita dan laki-laki).

Joget lambak atau joget tandak merupakan tarian rakyat (folk dance) atau tarian tradisional yang banyak dijumpai di Kepulauan Riau. Jenis tarian ini juga dijumpai di Sumatera Bagian Timur, Kalimantan Barat serta negara tetangga Malaysia. Tarian jenis joget ini sudah lama dikenal di negeri-negeri Melayu. Tarian joget yang sering dilakukan adalah joget lambak atau joget tandak. Joget lambak atau joget tandak atau kadang-kadang disebut dengan bertandak yaitu semacam tari-tarian rakyat sebagai hiburan yang suatu masa dulu berkembang di berbagai pelosok dan banyak digemari. Di beberapa tempat disebut dengan ronggeng. Menari joget atau bertandak terdiri dari beberapa orang wanita penari joget (terkadang sambil berdendang mengikut nyanyian lagu-lagu yang dibawakan ). Beberapa orang pria menari bersama yang disebut dengan pengebeng yang menari berhadap-hadapan mengikuti irama lagu lalu membayar imbalan selalunya pengebeng (pria yang hendak menari bersama) membayar imbalan dengan membeli karcis untuk masuk menari.

Pola permainan joget lambak atau bertandak selalu diawali dengan musik pembuka. Biasanya dengan lagu pertama yang dibawakan adalah lagu yang disebut pembuka tanah lalu diikuti irama dan tarian bertabik kemudian diteruskan dengan lagu pembuka dondang sayang dengan iringan tambur, gong dan instrumen yang membawakan melodi lagu pengiring biasanya dipakai biola. Tarian berjoget atau bertandak sebagai sarana hiburan di tengah-tengah masyarakat masih bertahan walaupun di dalam perkembangannya terdapat perubahan-perubahan mengikut selera penggemarnya. Musik pengiring tidak lagi menggunakan alat-alat musik akustik, tetapi menggunakan instrumen listrik. Lagu-lagu yang dinyanyikan lebih banyak didominasi musik kontemporer seperti irama pop dan dangdut bahkan lagu-lagu Barat, disko dan rock. Pakaian penari tidak lagi menggunakan kebaya pendek dan kain batik sehingga dari sudut penampilannya joget tandak lebih tepat disebut joget moderen yang dijadikan sebagai sarana hiburan masa kini. Namun di beberapa tempat, joget tandak masih bertahan dengan eksistensi nilai-nilai tradisinya, lemah lembut, tetap memelihara kesopanan adab-adab ketimuran dilihat dari sudut penampilannya.

Sementara itu untuk menjaga keberadaan tari joget atau tandak sesuai dengan tradisinya yang sekarang dipakai istilah dengan joget asli, joget tandak atau lambak mulai sering ditampilkan sebagai sarana hiburan di tempat-tempat pertunjukkan dan dikemas sebagai tari pergaulan yang lebih bermartabat, ditampilkan di tempat-tempat terhormat dan bergengsi, dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, pejabat pemerintah untuk merangsang ke arah pelestarian seni budaya khasanah bangsa.

Sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/

Gurindam Dua Belas

Gurindam Dua Belas (Jawi: ڬوريندام دوا بلس) merupakan gurindam, salah satu puisi Melayu lama, hasil karya Raja Ali Haji seorang sastrawan dan Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau. Gurindam ini ditulis dan diselesaikan di Pulau Penyengat pada tanggal 23 Rajab 1264 Hijriyah atau 1847 Masehi pada saat Raja Ali Haji berusia 38 tahun.

Karya ini terdiri dari 12 Fasal dan dikategorikan sebagai Syi’r al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridai oleh Allah swt. Selain itu terdapat pula pelajaran dasar Ilmu Tasawuf tentang mengenal “yang empat”, yaitu syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat. Diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, dengan huruf Arab dan diterjemahkan dalam Bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.

Gurindam I

Ini gurindam pasal yang pertama: Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma’rifat Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang teperdaya. Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudarat.

Gurindam II 

Ini gurindam pasal yang kedua: Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.

Gurindam III

Ini gurindam pasal yang ketiga: Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping. Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya faedah. Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan. Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi’il yang tiada senonoh. Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat. Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan yang membawa rugi.

Gurindam IV

Ini gurindam pasal yang keempat: Hati kerajaan di dalam tubuh, jikalau lalim segala anggota pun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir. Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala. Jika sedikitpun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong. Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka. Bakhil jangan diberi singgah, itu pun perampok yang amat gagah. Barang siapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar. Barang siapa perkataan kotor, mulutnya itu umpama ketur. Di mana tahu salah diri, jika tidak orang lain yang berperi.

Gurindam V

Ini gurindam pasal yang kelima: Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa, Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia. Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia. Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu. Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal. Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam VI

Ini gurindam pasal yang keenam: Cahari olehmu akan sahabat, yang boleh dijadikan obat. Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru. Cahari olehmu akan isteri, yang boleh menyerahkan diri. Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan. Cahari olehmu akan abdi, yang ada baik sedikit budi. 

Gurindam VII

Ini Gurindam pasal yang ketujuh: Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itulah landa hampirkan duka. Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat. Apabila anak tidak dilatih, jika besar bapanya letih. Apabila banyak mencela orang, itulah tanda dirinya kurang. Apabila orang yang banyak tidur, sia-sia sahajalah umur. Apabila mendengar akan khabar, menerimanya itu hendaklah sabar. Apabila mendengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan. Apabila perkataan yang lemah-lembut, lekaslah segala orang mengikut. Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar. Apabila pekerjaan yang amat benar, tidak boleh orang berbuat onar.

Gurindam VIII

Ini gurindam pasal yang kedelapan: Barang siapa khianat akan dirinya, apalagi kepada lainnya. Kepada dirinya ia aniaya, orang itu jangan engkau percaya. Lidah yang suka membenarkan dirinya, daripada yang lain dapat kesalahannya. Daripada memuji diri hendaklah sabar, biar dari pada orang datangnya khabar. Orang yang suka menampakkan jasa, setengah daripada syaitan mengaku kuasa. Kejahatan diri sembunyikan, kebaikan diri diamkan. Keaiban orang jangan dibuka, keaiban diri hendaklah sangka.

Gurindam IX

Ini gurindam pasal yang kesembilan: Tahu pekerjaan tak baik, tetapi dikerjakan, bukannya manusia yaitulah syaitan. Kejahatan seorang perempuan tua, itulah iblis punya penggawa. Kepada segala hamba-hamba raja, di situlah syaitan tempatnya manja. Kebanyakan orang yang muda-muda, di situlah syaitan tempat berkuda. Perkumpulan laki-laki dengan perempuan, di situlah syaitan punya jamuan. Adapun orang tua yang hemat, syaitan tak suka membuat sahabat. Jika orang muda kuat berguru, dengan syaitan jadi berseteru.

Gurindam X

Ini gurindam pasal yang kesepuluh: Dengan bapa jangan durhaka, supaya Allah tidak murka. Dengan ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat. Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai. Dengan isteri dan gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa. Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kapil.

Gurindam XI

Ini gurindam pasal yang kesebelas: Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa. Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela. Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat. Hendak marah, dahulukan hajat. Hendak dimulai, jangan melalui. Hendak ramai, murahkan perangai.

Gurindam XII

Ini gurindam pasal yang kesebelas: Raja muafakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.

Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gurindam_Dua_Belas

Mendu

Mendu merupakan karya budaya yang ditetapkan jadi warisan bersama antara Provinsi Kepri dan Kalimantan Barat. Mendu ditetapkan jadi warisan budaya tak benda (WBTB) bersama Kepri dan Kalbar. Mendu biasanya diawali dengan bunyi tabuh-tabuhan sebagai tanda untuk penonton berkumpul karena pertunjukan akan dimulai. Sebagai pembukaannya adalah nyanyian dan tarian, lalu perkenalan para pemain termasuk sang sutradaranya. Pertunjukan dilanjutkan dengan adegan-adegan pengantar menuju klimaks. Klimaks cerita adalah pertempuran yang berakhir dengan adanya pihak yang menang dan kalah. Pementasan kemudian diakhiri dengan kegiatan beremas, lalu diikuti oleh layar yang tertutup.

Pementasan Teater Mendu di Kepulauan Riau

Hikayat Dewa Mendu merupakan cerita yang panjang. Bila keseluruhan cerita ini dipentaskan akan diperlukan waktu berhari-hari. Akan tetapi, seperti teater tradisional yang lain, mendu dapat dipentaskan secara sepenggal-sepenggal atau per episode. Penonton tidak akan merasa kehilangan arah cerita karena mereka sudah sangat mengenal cerita tersebut. Masyarakat juga tidak bosan untuk menonton berulang-ulang karena setiap pementasan pasti akan berbeda. Perbedaan setiap penampilan itu terjadi karena para pemain/aktor tidak bergantung pada naskah. Mereka menghapal cerita dan memahami alur cerita untuk kemudian mementaskannya dengan cara spontan, tidak kaku, dan penuh improvisasi.

Kekhasan lain teater mendu adalah penggunaan bahasanya. Para tokoh utama berdialog menggunakan bahasa Melayu variasi mendu, yaitu bahasa Melayu yang menggunakan pilihan kata khusus dan intonasi/tekanan yang berbeda dengan bahasa Melayu pesisir. Sedangkan tokoh-tokoh lain, yang menjadi pemeran pembantu, menggunakan bahasa Melayu pesisir. Sebagai contoh bahasa mendu adalah untuk kata saya digunakan kata mahdiri kami dan frasa ampun tuanku digunakan frasa ampun yadi tuanku. Selain variasi bahasa yang berbeda, tokoh utama mendu juga selalu menggunakan kacamata hitam dan memegang kipas. Hal ini tidak dilakukan oleh pemeran pembantu.

Teater mendu ini berasal dari Bunguran (merupakan pusatnya), lalu berkembang ke Natuna, Anambas, terus ke Sungai Ulu, Pulau Tiga, hingga ke Midai dan Siantan. Ketika Provinsi Kepulauan Riau masih menjadi bagian dari Provinsi Riau, mendu juga dikenal di Riau Daratan, terutama daerah pesisir. Sejak Kabupaten Kepulauan Riau menjadi provinsi yang terpisah, mendu tidak berkembang lagi di wilayah Riau Daratan.

Dikutip dari : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/merevitalisasi-mendu/

Mak Yong

Mak Yong (Jawi: مق يوڠ) adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan Mak Yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi.

Dramatari Mak Yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah. Selain itu, mak yong juga dipentaskan di Kepulauan Riau dan Sumatra Utara, Indonesia. Di Kepulauan Riau, mak yong dibawakan penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng.

Pementasan Mak Yong di Pulau Mantang, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan

Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.

Mak Yong berkembang di Indonesia melalui Riau, Lingga, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor. Perbedaan dengan Mak Yong di Kelantan yang tidak menggunakan topeng, Mak Yong di Batam dan Bintan menggunakan topeng untuk sebagian karakter dayang Raja, Puteri, penjahat, setan, dan semangat, sama seperti yang dipraktikan di Nara Yala. Pada akhir abad lalu, Mak Yong bukan saja menjadi pertunjukan harian, tetapi juga sebagai adat istiadat raja memerintah. Mak Yong juga digunakan untuk merawat orang yang sakit. Praktik ini tidak lagi dipraktikan termasuk pula di Indonesia. Di antara orang terakhir yang mempraktikan Mak Yong untuk merawat pasien adalah Tuk Atan di Bintan dan Pak Basri di Batam, keduanya telah meninggal. Bagaimanapun, Mak Yong masih dipersembahkan dengan adat istiadat di panggung. Mantra yang dilakukan diwariskan dari seseorang kepada pewarisnya. Sekarang di Batam dan Bintan, praktisi Mak Yong merupakan generasi ketiga dan telah ada hampir selama 150 tahun dan menghadapi ancaman kepunahan. Indonesia telah mengambil langkah memelihara Mak Yong dengan melancarkan program merekam tradisi ini dengan bantuan Persatuan Tradisi Lisan dan membantu para praktisi Mak Yong melanjutkan pertunjukan mereka dengan bantuan peralatan dan pakaian. Rekaman tersebut disimpan di Kantor Persatuan Tradisi Lisan dan PUSKAT di Jakarta (Yogyakarta).

Pementasan Mak Yong

Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mak_Yong

Sejarah Kota Rebah

Sejarah mencatatnya sebagai Istana Kota Lama. Di sinilah tapak awal kekuasaan Kesultanan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga ditabalkan sebelum akhirnya berpindah-pindah tempat sesuai dinamika sosial-politik pada masa itu. Akan tetapi, masyarakat di sana kurang familier dengan istilah Istana Kota Lama. Mereka lebih mengenalnya dengan sebutan Istana Kota Rebah. Sebutan ini tak lepas dari kondisi terkini bekas istana tersebut. Sebagian besar struktur bangunan yang tersisa sudah rebah ke tanah.

Dari sisa reruntuhan yang ada, secara umum kondisi sisa bangunan sudah sangat rusak. Hasil studi teknis-arkeologis yang dilakukan BP3 Batusangkar, tahun 2007, hanya bisa memperkirakan ada dua kelompok bangunan di situs ini. Kelompok bangunan pertama yang berada di sebelah selatan ukurannya lebih luas daripada kelompok bangunan kedua di sebelah utara. Bangunan itu sendiri menghadap ke selatan atau ke teluk yang ada di Sungai Carang

Tembok Sisa Peninggalan Istana Kota Rebah

Atas perintah Sultan Abdul Jalilsyah (1613-1677) yang bermastutin di Johor, Tanah Semenanjung, Laksamana Tun Abdul Jalil diutus mencari daerah baru sebagai pusat kekuasaan. Didahului semacam survei awal ke berbagai tempat di pulau-pulau yang ada di sekitar Selat Melaka, pada 1673, Tun Abdul Jalil memutuskan membuka daerah baru tersebut untuk dipersiapkan sebagai calon pusat kerajaan. Latar utama pencarian daerah baru didasarkan kenyataan, pada periode itu pusat Kerajaan Melayu di Johor kerap dilanda kekeringan sehingga penduduk sulit mendapatkan air bersih. Menggunakan perahu bernama Lancang Kuning, ekspedisi yang dipimpin Tun Abdul Jalil—dengan juru mudi Malim Dewa—untuk mencari daerah baru itu pun sampai ke Pulau Bintan dan sekitarnya.

Di Sungai Carang mereka menemukan semacam delta, pulau di mulut sungai, yang dinilai cocok untuk permukiman. Lokasi yang ia pilih sedikit masuk Sungai Carang atau di Hulu Riau, tak begitu jauh dari pusat kota Tanjungpinang saat ini, yang sudah dijadikan sebagai ”kota” Bendahara (setara perdana menteri) sejak Kerajaan Melaka masih berjaya. Lokasinya sangat strategis, terutama dari segi pertahanan. Kapal musuh yang datang niscaya akan segera tampak bila menempatkan lokasi penjagaan di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat. Akan tetapi, pembukaan negeri baru ini menyusutkan peran Tanjungpinang itu sendiri, yang kemudian hanya menjadi semacam kawasan pendukung. Terlebih lagi sejak pusat kekuasaan Kesultanan Melayu dipindahkan ke sini tahun 1718, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV.

Kawasan Sungai Carang kiang berkembang sejak Raja Haji Fisabilillah (1777-1784) menjabat Yang Dipertuan Muda IV (setingkat perdana menteri). Pada masa itu ia mendirikan istana baru dengan sebutan Istana Kota Piring di Pulau Biram Dewa. Pasang surut kejayaan masa silam itu bagai mengikuti gerak pasang air laut yang naik-turun. Khawatir mendapat serangan balik Belanda atas kekalahan mereka dari pasukan Tempasok-Kalimantan, pada 1787 sejarah kembali mencatat, pusat Kesultanan Melayu Riau akhirnya dipindahkan ke Daik, Lingga. Gugurnya Raja Haji Fisabilillah sebagai Yang Dipertuan Muda IV ketika memimpin langsung penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Teluk Ketapang, pada 1784, diperkirakan ikut jadi pertimbangan pemindahan pusat pemerintahan ke Daik.

Sejak itu, peran kawasan Istana Kota lama dan Istana Kota Piring mulai redup. Bahkan ketika pusat kekuasaan di Daik dibumihanguskan, dan pusat pemerintahan di akhir ”masa senja” Kesultanan Melayu Riau kembali ke kawasan Pulau Bintan dan sekitarnya, lokasi yang dipilih tidak di bekas Istana Kota Lama, melainkan ke Pulau Penyengat. Boleh jadi, menjelang abad ke-19 itu Istana Kota Lama sudah hancur. 

Begitulah sejarah dituliskan. Kini kawasan bekas Istana Kota Lama, atau lebih dikenal warga di sana sebagai Istana Kota Rebah, tak lebih berupa sisa-sisa bangunan. Pohon ara menjulang di tengah-tengah bekas struktur sisa bangunan tembok setinggi sekitar tiga meter, terbuat dari kerikil bauksit dicampur semen. Beberapa bagian tembok yang tersisa itu pun miring tak beraturan, bahkan ada yang rebah karena fondasinya terangkat akar pohon ara yang kini ”menaungi” sisa-sisa bangunan istana.

Gambaran kebesaran dan kemegahannya hanya ada dalam catatan sejarah. Tak ada lagi tanda-tanda balairung tempat penerimaan tamu, pendopo, tamansari, ataupun ruang peraduan sultan dan permaisurinya. Sisa fondasi bangunan di salah satu sisi yang mencapai 400 meter, dengan lebar fondasi 40-50 cm, hanya gambaran kasar luas salah satu bangunan di kelompok bangunan bagian selatan.

Kini, Pemerintah Kota Tanjungpinang berniat menjadikan salah satu tapak sejarah masa silam kebesaran Kesultanan Melayu Riau ini sebagai bagian dari kawasan wisata hutan bakau. Bahkan, dari gambar situasi tapak kawasan, terlihat bahwa lokasi bekas Istana Kota Rebah berada pada titik sentral pengembangan wisata hutan bakau yang ada di sekitarnya.

Dikutip dari : https://wa-iki.blogspot.com/2010/11/rebahnya-istana-kota-rebah-sisa.html

Sejarah Istana Kota Piring 

Situs Cagar Budaya Kota Piring secara administratif terletak di RT 03/RW 07, Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Memiliki letak astronomis N 0⁰ 55′ 30,5” E 104⁰ 29′ 30,1”, dengan  ketinggian rata-rata 27 m dari permukaan laut.

Istana Kota Piring dibangun pada tahun 1777 oleh Yang Dipertuan Muda Riau IV, Raja Haji Fisabilillah. Istana Kota Piring merupakan tempat kedudukan bagi Yang Dipertuan Muda sedangkan kedudukan Yang Dipertuan Besar berada di Sungai Galang Besar. Di dalam karyanya yang berjudul Tuhfat Al-Nafis, Raja Ali Haji melukiskan tentang Istana Kota Piring :

Sisa-sisa Tembok Istana Kota Piring

“Kota baru yang bertatahkan dengan pinggan dan piring sangatlah indah, dan sekarang masih ada bekasnya, di ulu Riau adanya. Dan, satu pula balai dindingnya. Cermin adalah tiang balai itu, bersalut dengan kaki pahar. Kaki tiang itu yaitu tembaga, dan kota itu sebelah atasnya berkisi-kisikan bocong. Kota itu ketika terkena sinar matahari memancar-mancarlah cahayanya.”

“Kemudian dibuat pula satu istana di Sungai Galang Besar. Perhiasan istana dari emas dan perak, hingga rantai-rantai setelob-nya dengan rantai perak. Juga talam dan ceper kebanyakan dibuat di negeri China dan seperti tepak dan balang air mawar daripada emas dan perak yang dibuat di negeri Benila (Manila) yang berkarang dan bertakhtakan intan dan yang ber-serodi. Dan, adapun pinggan mangkuk dan cawan khawa dan cawan teh kebanyakan diperbuat di negeri China serta berserut dengan air emas. Pada pantat cawan tersebut tertera nama Pulau Biram Dewa atau Malim Dewa”.

Kemegahan sebagaimana yang tertera dalam kitab Tuhfat Al-Nafis ini sudah tidak dapat dilihat lagi, kondisinya saat ini sangat memprihatinkan, yang terlihat hanya sebagian tembok istana yang sudah lapuk dan bagiannya sudah bayak yang hilang terlebih lagi piring-piring yang digambarkan melekat pada tembok-tembok istana, piring-piring yang melekat pada tembok telah banyak yang dicongkeli oleh masyarakat.

Menurut peneliti pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi, Anastasia Wiwik Swastiti, Istana Kota Piring tidak difungsikan lagi sebagai pusat pemerintahan sejak Kerajaan Riau – Lingga kalah dalam Perang Riau yang terjadi pada tahun 1784, dan kemudian pada tahun 1787 Sultan Mahmud Shah III memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga. Di sana beliau membangun pasar, masjid, dan benteng kota berupa parit. Seiring dengan perpindahan pusat kekuasaan maka Istana Kota Piring dan Istana Yang Dipertuan Besar mengalami penurunan dalam fungsinya.

Totok Roesmanto dalam makalahnya memaparkan beberapa pendapat berkaitan dengan Istana Kota Piring diantaranya adalah pendapat Meuraxa yang menyebutkan bahwa “Kota Piring berupa pagar yang terdiri dari piring”, pendapat lain menyebutkan bahwa Kota Piring merupakan tempat penyimpanan koleksi piring Kesultanan Melayu Riau.

Istana adalah sebuah bangunan besar atau mewah yang biasanya didiami oleh keluarga kerajaan, keluarga kepala negara atau petinggi lainnya. Kata istana kadang-kadang juga dipakai untuk merujuk kepada gedung besar yang merupakan pusat suatu lembaga. Di Jawa dan sekitarnya tempat tinggal raja disebut pula keratonpura atau puri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Istana)

Tembok Istana Kota Piring dipenuhi dengan piring-piring terbuat dari keramik buatan Cina dan Eropa, itulah sebabnya kenapa disebut dengan Istana Kota Piring, dan di setiap tiangnya diberi lapisan tembaga yang berwarna kuning berkilau yang jika terkena sinar matahari di pagi hari dan ketika bulan purnama pada malam hari akan memperlihatkan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Sisa-sisa Pondasi Istana Kota Piring

Tidak banyak yang dapat diamati pada situs Istana Kota Piring terlebih lagi berkaitan dengan arsitekturnya sebab bagian-bagian yang tersisa hanya berupa tembok-tembok yang juga sudah tidak utuh lagi. Totok Roesmanto mencoba merekonstruksi arsitektur Istana Kota Piring melalui kajian kesejarahan berdasarkan teks kuno, menurutnya teks kuno yang paling dapat dipercaya adalah Tuhfat Al Nafis yang ditulis oleh Raja Ali Haji. Hal ini dilakukan sebelumnya oleh Daniel Perret dalam mendeskripsikan Kota Raja melalui teks Kesusastraan Melayu Lama. Beliau mengkajinya melalui 24 teks sejarah berbentuk hikayat maupun syair yang mengandung data yang dapat memberi sumbangan bagi sejarah perkotaan di Dunia Melayu. Untuk menjelaskan bagaimana arsitektur Istana Kota Piring akan lebih tepat menggunakan deskripsi yang dibuat oleh Daniel Perret yang didasari oleh naskah-naskah Melayu berkaitan dengan Kota Raja, menurutnya teks-teks Melayu mengandung fakta-fakta kejadian pada masa lalu sehingga beritanya dapat dipertanggungjawabkan.

Berkaitan dengan bentuk atau struktur dari istana Melayu yang Daniel Perret menyebutnya dengan Kota Raja, banyak ditemukan pada masa pendirian dari urban settlement atau pada saat dilaksanakannya upacara dan pada saat ada kunjungan orang besar (Daniel Perret, 2011: 252). Di dalam Hikayat Deli disebutkan bahwa di atas pintu gerbangnya dibuat sebuah rumah yang namanya Melawati yaitu berupa tempat berjaga-jaga siang dan malam, ditempat itu pula disimpan senjata, peluru dan obat bedil. Cerita seperti ini yang terdapat di hikayat-hikayat dapat memberikan gambaran berkaitan dengan bagaimana struktur dan bentuk sebuah kota atau istana.

Begitu pula dengan Kota Piring seperti yang digambarkan oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis yang salah satunya menyebutkan berkaitan dengan keindahan Istana Kota Piring dengan temboknya yang bertatahkan piring-piring yang indah. Namun, penggambaran tersebut cukup sulit untuk dikembalikan mengingat keadaan Istana Kota Piring yang saat ini hanya berupa sisa-sisa tembok saja, dan hanya ditemukan sedikit struktur bangunan yang berkaitan dengan pondasi bangunan, selain itu semakin padatnya rumah-rumah penduduk mengakibatkan tingkat kerusakan struktur yang masih tersisa menjadi cukup tinggi.

Dikutip dari : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/istana-kota-piring/

Sejarah Bukit Kursi Pulau Penyengat

Melayu, tentu sudah pernah kita dengar sebelumnya bagaimana uniknya budaya Melayu yang memperkaya khazanah budaya di Indonesia. Budaya Melayu tidak terlepas dari salah satu pulau di Indonesia, yaitu Pulau Penyengat. Pulau Penyengat merupakan salah satu yang berada di Provinsi Kepulauan Riau. Nama Penyengat tentu tidak asing apabila mengingat sejarah kejayaan Melayu-Riau dahulu. Dalam cerita lokal, Penyengat berawal dari kisah seorang pelaut yang disengat lebah pada saat mengambil air di pulau ini sehingga disebutlah Pulau Penyengat. Orang Belanda sendiri menjuluki pulau ini sebagai Pulau Indera dan ulau Mars sehingga Pulau Penyengat dikenal juga sebagai Penyengat Inderasakti.

Menelisik dari sejarah, Pulau Penyengat merupakan hadiah dari Sultan Mahmud kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah pada tahun 1805. Pada masa Sultan Mahmud mulailah dibangun permukiman yang berada di pulau ini. Sebelum diberikan sebagai hadiah, Sultan Mahmud sebagai Ya6ng Dipertuan Muda Riau IV membangun beberapa benteng diantaranya ialah Benteng Bukit Kursi untuk melindungi dari serangan Belanda. Tentunya pemberian pulau ini sebagai hadiah menarik perhatian sehingga  Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga. Pada tahun 1857, kondisi Kerajaan Melayu Riau-Lingga sudah tidak stabil karena campur tangan Belanda dalam pemerintahan sehingga Sultan Abdulrahman Muazamsyah memindahkan pusat kerajaan Melayu Riau-Lingga dari Daik ke Penyengat pada tahun 1900 (Yacob, M. Amin, 2004: 89-95).

Pemindahan pusat kekuasaan ke Penyengat tentu tidak terlepas dari posisi geografisnya di jalur perdagangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi pertahanan yang cukup kuat untuk menghadapi musuh yang ingin menguasai Pulau Penyengat. Sebagaimana diketahui bahwa pendirian benteng di Pulau Penyengat merupakan salah satu startegi pertahanan yang dibuat oleh Sultan Mahmud. Benteng Bukit Kursi merupakan salah satu benteng yang dianggap sebagai sarana pertahanan utama karena menghadap ke tapak dermaga lama maupun tapak dermaga sultan. Sebagaimana diketahui bahwa dermaga merupakan bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menarik-turunkan penumpang.

Benteng Bukit Kursi berada di sebuah bukit dan merupakan benteng pertahanan yang memiliki denah segi empat, yang terbuat dari susunan pasangan batu bauksit . Benteng Bukit Kursi yang mempunyai ukuran sekitar 92,38 m x 74,73 m (6903,55 m²), mejadikan area benteng ini sangat luas, memungkinkan ditempatkannya pasukan dalam jumlah cukup besar. Benteng ini dikeliling parit sedalam ± 3 m. Didalam fungsinya sebagai mesin perang, Benteng Bukit Kursi dilengkapi dengan meriam yang berjumlah 8 buah. Meriam tersebut ditempatkan disemua bastion, masing-masing 2 buah meriam ditempatkan di bastion sisi barat daya, barat laut, dan timur laut. Sementara di bastion sisi tenggara dan bagian tengah dinding utara masing-masing 1 buah meriam. Arah hadap benteng ini adalah mengelilingi laut Tanjung Pinang, sehingga penempatan meriamnya pun mayoritas mengarah ke laut. Dari 8 buah meriam yang ditempatkan, 6 buah mengarah ke laut. Pintu utama Benteng Bukit Kursi berada di sisi selatan dengan sebuah jembatan sebagai akses masuk ke dalam benteng (Tim Pelestari BPCB Sumatera Barat, 2017).

Meskipun Benteng Bukit Kursi menggunakan material alam, tetapi apabila melihat kompleksitas sarana bangunan tersebut seperti parit, bastion dan meriam diketahui bahwa benteng ini merupakan sentral pertahanan Pulau Penyengat. Selain itu, pemilihan lokasi Benteng Bukit Kursi berada di bukit tentu memberikan keuntungan bagi pihak yang bertahan. Selain untuk mengawasi pergerakan musuh, posisi lebih tinggi juga memudahkan untuk memberikan tembakan langsung pada musuh sedangkan sebaliknya pihak musuh kesulitan untuk menyerang posisi pertahanan yang berada di atasnya (Tanjung, Wiyan Ari, 2008: 57).

Pembangunan benteng ini tentunya merupakan salah satu strategi perang yang digunakan untuk bertahan dan menyerang. Karakter lingkungan yang terdiri dari perbukitan dan muara sungai menggambarkan bagaimana pemanfaatan ruang dari bentang alam yang ada. Apabila melihat lokasi benteng yang berada di puncak bukit menunjukan bahwa benteng  tersebut didirikan untuk mengawasi pergerakan aktivitas terutama aktivitas di laut dimana area tersebut merupakan jalan masuk ke pusat kerajaan dahulu.

Dikutip dari : http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/benteng-bukit-kursi-sentral-pertahanan-pulau-penyengat/