Setiap memasuki bulan Ramadhan, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Melayu dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci Ramadhan sebagai tanda syukur dan bergembira atas datangnya bulan penuh berkah. Tradisi tersebut telah dilakukan secara turun-temurun sejak masa lalu. Salah satunya yang masih ada namun sudah mulai redup adalah tradisi likuran atau 7 likur. Tradisi 7 likur merupakan tradisi menyalakan lampu/penerangan tradisional yang ditempatkan di sekitar masjid, di berbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk. Pada malam puncak perayaan malam 7 likur yaitu tepatnya pada malam 27 Ramadhan berbagai kegiatan dilakukan oleh masyarakat diantaranya saling mengunjungi ke rumah-rumah keluarga atau tetangga dan menyajikan makanan/kue tradisional dan diakhiri dengan saling mendoakan agar keluarga yang dikunjungi memperoleh limpahan rahmat, pahala dan rezeki. Tradisi 7 Likur bukan sebatas symbol budaya bagi masyarakat Melayu, tetapi lebih luas yaitu dalam rangka menyambut datangnya malam seribu bulan yaitu malam Lailatul Qadar. Dimana pada masa ini setiap individu akan lebih meningkatkan amal dan ibadahnya.
Jika kita melirik salah satu daerah di Kepulauan Riau, seperti di Kabupaten Lingga. Tradisi malam 7 likur masih dapat kita rasakan nuansa Islami dan budaya Melayu yang mengikat kehidupan masyarakatnya. Tradisi 7 likur bagi masyarakat Lingga dilaksanakan setiap memasuki bulan suci Ramadhan dan puncak kegiatannya dilaksanakan pada saat malam 27 Ramadhan. Berbagai kegiatan dilakukan, salah satunya adalah dengan memeriahkan suasana di malam hari dengan menyalakan berbagai penerangan tradisional seperti lampu cangkok/colok/teplok/pelita di sekitar rumah, jalan dan lorong – lorong, serta banyak juga membangun gerbang berlampu bernuansa Islami seperti membuat kaligrafi dan kubah masjid.
Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat, segala perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tradisi ini diupayakan secara suka rela oleh masyarakat. Namun, belakangan setelah terbentuknya Kabupaten Lingga, pemerintah daerah turut serta mendukung pelaksanaan tradisi ini dengan memberikan berbagai dukungan guna memperlancar pelaksanaan tradisi 7 likur ini. Dukungan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan kegiatan tradisi ini cukup memberikan semangat bagi warga masyarakat yang akan melaksanakan tradisi ini, dari mulai dukungan dana terhadap masyarakat yang akan membuat gerbang atau gapura serta pemberian hadiah terhadap gerbang atau gapura yang terlihat indah dan menarik.
Tradisi 7 Likur tidak hanya terdapat di Kabupaten Lingga saja melainkan terdapat juga di daerah lainnya di Kepulauan Riau sejak masa lalu. Namun, istilah atau penamaan tradisi 7 likur terkadang disebutkan dengan nama yang berbeda di tempat lain tetapi makna dan hakikatnya adalah sama. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bintan. Pemerintah Kabupaten Bintan mencoba menghidupkan kembali Tradisi Lampu Cangkok yang saat ini sudah mulai redup. Hal itu, bukan saja bermaksud menghidupkan tradisi budaya yang sudah mulai punah tetapi membangkitkan kembali tradisi yang dianggap memiliki berbagai hal positif yang bermanfaat khususnya dalam memberikan semangat kepada generasi muda untuk dapat memahami akar budaya dalam masyarakat Melayu.
Kemeriahan tradisi Lampu Cangkok di Kabupaten Bintan tentu tidak sama dengan daerah Lingga, masing-masing memiliki keunikan tersendiri yang harus dipertahankan dan dikelola dengan baik guna melestarikan tradisi tersebut. Istilah lampu cangkok sebenarnya adalah nama yang diberikan pada lampu atau istilah lainnya adalah pelita. Bentuk fisik lampu cangkok adalah lampu yang dibuat secara tradisional dari berbagai bahan seperti kaleng atau botol, bambu, sumbu, dan bahan bakar minyak tanah.
Lampu cangkok yang telah dibuat ditempatkan di sepanjang jalan desa hingga di depan masjid tujuannya adalah untuk memberi penerangan bagi siapa saja yang ingin beribadah hingga larut malam pada bulan suci Ramadhan. Di rumah-rumah penduduk lampu cangkok akan ditempatkan di pekarangan rumah dan depan rumah dengan berbagai variasinya. Biasanya bagi keluarga yang mampu akan membuat lampu cangkok dengan berbagai variasi menghiasi rumahnya, misalnya dengan motif bintang, bulan, dan sebagainya. Pembuatan motif tersebut biasanya dibuat dari bahan kain, bambu, dan benang yang dibuat sedemikian rupa hingga terlihat menarik.
Tradisi Lampu Cangkok juga tidak terbatas pada istilah untuk penyebutan lampu atau penerangan di malam hari. Tetapi memberikan magnet bagi masyarakat Melayu dalam menyambut datangnya malam Lailatul Qadar dan meningkatkan ibadah di malam hari. Bagi anak-anak tentu saja malam tradisi lampu Cangkok akan memberikan makna yang dalam bagi mereka dalam menanamkan nuansa Islami sejak dari kecil dan hal itu biasanya lebih melekat dan selalu menjadi ingatan bagi mereka setelah dewasa dalam menjalani masa kehidupannya. Hal itu tentu tidak akan didapatkan di daerah perkotaan, atau daerah yang sudah melupakan adat dan tradisi budaya yang dimilikinya.